Translate

Thursday, November 3, 2011

Kisah Anak Indigo

Mami, jangan menginap di hotel itu. Aku mencium bau darah kematian." Itulah anjuran seorang anak berusia taman kanak-kanak (TK) manakala keluarganya memutuskan menginap di sebuah hotel berbintang di Jakarta. Karena sang mami paham betul setiap apa yang disampaikan anaknya selalu benar, mereka pun batal menginap dan mengarahkan kendaraannya menuju hotel lain. Tak berapa lama kemudian hotel itu meledak! Darah mengalir, korban bergelimangan. Meluluhlantakkan semua yang ada.

Itu hanya satu cerita kecil dari begitu banyak cerita tentang keistimewaan anak indigo.
Berikut cerita mengenai Ardi..
Berbeda, tetapi Bukan Anak “Aneh” Sepanjang perjalanan menuju rumah nenek, Ardi, sebut saja begitu, seperti tidak bergerak. Wajahnya pucat pasi. Ia terus menutupi telinganya. Sang ibu tak berani mengusik anak sulungnya. “Saya sebenarnya heran, kok Ardi nangisnya sampai begitu waktu mendengar kabar ibu saya meninggal. Enggak seperti anak kecil lain yang kehilangan neneknya. Sedih ya sedih, tapi enggak gitu-gitu amat,” ujar Dewi.

Begitu turun dari mobil, Ardi seperti terkesima melihat sesuatu di pintu masuk. Ketika mencium jenazah neneknya, tiba-tiba ia kembali menutupi telinganya dan tampak ketakutan. Pandangannya terus menuju ke luar pintu. Setelah itu Ardi mengatakan kepalanya sakit, dan tidak ikut ke makam.

Menjelang tengah malam, Ardi menanyakan apakah ibunya mendengar suara petir siang tadi. Sang ibu menjawab, “Tidak.” “Masak Mama enggak dengar, kan keras sekali dan terus- terusan, Ma,” kata Dewi menirukan ucapan Ardi saat itu. “Sehabis itu Ardi menceritakan semuanya,” lanjut Dewi. Selain petir, Ardi melihat burung besar di pintu rumah sang nenek. “Burung itu enggak pergi-pergi,” ujar Ardi seperti ditirukan Dewi.

Saat mencium neneknya, Ardi melihat sang nenek berjalan menuju sebuah gerbang. Saat itu Ardi mendengar suara petir lagi, yang lebih keras dari sebelumnya, dan ia menyaksikan neneknya melangkah melewati gerbang, terus berjalan menuju tempat yang ia katakan “indah sekali”.

Peristiwa itu bukan yang pertama, sehingga Dewi dan suaminya tidak lagi terkejut mendengar penuturan anak mereka. “Dia sering melihat macam- macam, tetapi biasanya diam. Ia hanya mau berbicara sesudahnya, pelan-pelan dan hanya kepada orang tertentu,” sambung Dewi.

Usia Ardi kini menjelang 10 tahun. Di sekolah ia termasuk cerdas. IQ-nya antara 125-130. “Tapi gurunya bilang ia suka bengong di kelas,” sambung Dewi. Kepada ibunya, ia bercerita melihat macam-macam di sekolah, yang tidak bisa dilihat orang lain, di antaranya anak tanpa anggota badan, dan ia merasa sangat kasihan.

Suatu hari saat belajar di rumah ia tersenyum. Ketika ditanya oleh sang ibu, ia mengatakan ada anak persis sekali dengan dirinya. Hari berikutnya ia bercerita, anak itu datang di sekolahnya. Ketika ditanya di mana ia tinggal, anak itu menjawab, “Di sana,” sambil telunjuknya menunjuk ke arah atas. “Ada apa di sana?” tanya Ardi. Anak itu menjawab, “Ada orang gede- gede buanget. Anak itu omongnya juga medhok lho Ma, kayak aku, persis,” tutur Ardi seperti diceritakan kembali oleh Dewi. Tentu tak ada orang lain melihat “anak itu” kecuali Ardi.

Dewi dan suaminya memahami apa yang terjadi pada Ardi dan juga adiknya. Beberapa anggota keluarganya juga memiliki kepekaan lebih dibandingkan dengan orang kebanyakan. Pada Ardi hal itu sudah terdeteksi saat masih bayi. “Kalau dengar suara azan, Ardi tampak mendengarkan dengan penuh konsentrasi,” kenang Dewi. Menjelang usia 1,5 tahun, Ardi membaca kalimat syahadat secara sambung-menyambung seperti wirid. Sesudah bisa jalan, sebelum usia dua tahun, ia mulai mengambil sajadah sendiri, memakai sarung sendiri dan membuat gerakan seperti orang shalat, meskipun bukan waktu shalat.

Toh tingkah laku Ardi membuat Dewi merasa agak risau. “Ia melihat dan mendengar apa saja yang orang lain enggak bisa lihat dan enggak bisa dengar,” katanya. Ia tidak menceritakan situasi anaknya itu pada setiap orang di luar keluarga. “Kalau enggak percaya bisa-bisa anak itu dianggap berkhayal,” lanjutnya.

Dewi tidak mengecap anaknya berkhayal, karena dalam beberapa hal ia juga memiliki kepekaan itu, meski hanya sampai tingkat tertentu. “Suatu sore, sehabis shalat, saya merasa ada bayangan putih. Ardi rupanya juga melihat karena ia tersenyum. Dia bilang, ‘Ma, ada yang ngikutin, perempuan. Tapi orangnya baik sekali.’ Ketika saya tanya siapa, Ardi tidak menjawab.”

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Mengenai Saya

My photo
i'm totally a complicated person, it's so hard to understand me but i am what i am? and i prefer like me not because my phisical appearance or anything but simply,because me is me..

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls